Kamis, 05 Januari 2012

Dampak Nikah Sirri

Menikah dan membina rumah tangga merupakan keinginan semua orang. Hubungan yang harmonis, saling percaya, saling melindungi, dan saling mendukung sangatlah diharapkan. Mitsaqan ghalidza (perjajian yang amat kokoh), demikian Alquran menggambarkan pernikahan di antara suami-istri. Istilah ini memberi sinyal, hubungan suami-istri harus dibina secara dua arah yang saling menguatkan. Pihak satu jadi pendukung dari yang lain, dan tidak satu pun pihak yang dirugikan atau hak-haknya terancam dikurangi. Hubungan yang indah tersebut, akan berbeda jika dilaksanakan secara sirri. Meski masih menimbulkan pro-kontra di masyarakat, praktik nikah sirri ini semakin banyak terjadi. Padahal, nikah sirri sangat merugikan khususnya bagi perempuan dan anak yang kelak dihasilkan dari pernikahan ini. Contoh kasus, adalah apa yang terjadi di salah satu dusun di kaki gunung Kelud, Kediri-Jawa Timur, di mana terdapat budaya nikah sirri oleh masyarakat yang rata-rata berpendidikan dan berekonomi rendah. Mereka dinikahkan seorang tokoh yang dianggap kyai yang juga berpengetahuan “rendah” tentang hak suami, istri, dan anak dalam sebuah keluarga.
Sebut saja Supiyah. Ia pernah menjalani hubungan pernikahan sirri dan memiliki seorang anak. Ketika si anak ingin bersekolah, yang terjadi akhirnya pemalsuan data untuk memperoleh akta kelahiran. Ketika ia menikah untuk yang kedua kalinya secara sirri, yang terjadi juga sama, ia ditinggal suaminya, dan anak hasil pernikahan terakhir, tidak juga memperoleh haknya.
Bagi pihak perempuan (istri), nikah sirri sangat dampak secara hukum dan sosial. Secara hukum negara, ia tidak dianggap sebagai istri sah; tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika sang suami meninggal dunia; serta tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perceraian. Sebab, secara hukum perkawinan, nikah sirri dianggap tidak pernah terjadi karena tidak dicatatkan. Sedang secara sosial paling tidak, pihak istri sulit bersosialisasi karena seringnya ia dianggap hanya tinggal serumah dengan lelaki tanpa ikatan perkawinan.
Pengertian Nikah Sirri
Nikah sirri, atau yang bagi masyarakat awam disebut pula nikah bawah tangan, memiliki dua pengertian.Pertama, nikah sirri secara fiqh, yaitu nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui pihak yang terkait. Pihak terkait ini merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorang pun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain.
Kedua, nikah sirri dalam persepsi masyarakat, yakni pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi ke KUA. Masyarakat menganggap, pernikahan yang dilaksanakan walaupun tidak dirahasiakan, tetap dikatakan sirriselama belum didaftarkan secara resmi ke KUA.
Hukum Indonesia tidak mengenal istilah “nikah sirri”, dan tidak mengatur secara khusus. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap ada dengan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang, khususnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 2, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Status Hukum Nikah Sirri
Mengenai hukum pernikahan yang dirahasiakan, Imam Malik menyatakan pernikahan tersebut batal, sebab pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Sedang pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, nikah sirri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan.
Menurut syariat, sebuah pernikahan dipandang sah jika telah memenuhi rukun nikah, yaitu calon mempelai pria, calon mempelai perempuan, wali mempelai perempuan, dua orang saksi, dan ijab qabul, serta memenuhi syarat-syarat nikah. Sedang menurut UU Perkawinan, selain memenuhi aturan syariat, pernikahan haruslah dicatat petugas pencatat nikah. Jika pernikahan memenuhi kedua aturan itu, maka pernikahan itu disebut legalwedding, jika sebaliknya disebut illegal wedding.
Secara dogmatis, tidak ada nash Alquran atau Hadis yang mengatur pencatatan perkawinan. Tapi dalam QS. Al-Baqarah: 283, memberi perhatian besar kepada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Sebab itu, jika urusan muamalah seperti hutang saja perlu pencatatan, apalagi perkawinan. Dengan pencatatan perkawinan itu akan lahir hukum lain seperti hak pengasuhan anak, hak waris, dan lainnya.
Sedangkan hukum nikah yang tidak dicatatkan ke KUA, meski dianggap sah menurut agama, karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, tapi pernikahan ini masih menyisakan persoalan. Setidaknya yang bersangkutan dianggap “berdosa” karena mengabaikan perintah Alquran untuk mengikuti aturan pemerintah (ulil amri). Firman Allah swt.:
Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu sekalian kepada Allah swt. dan patuhlah kamu kepada Rasul dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. (QS. Al-Nisa’: 59).
Pentingnya pencatatan perkawinan selain berfungsi sebagai tertib administrasi dan perlindungan hukum bagi warga negara, legalitas pernikahan juga mempermudah para pihak terkait dalam melakukan kontrol terhadap pelaksanaan undang-undang perkawinan. Lebih dari itu legalitas pernikahan seyogyanya tidak dipahami dalam konteks administratif semata. Tetapi juga memiliki nilai hukum normatif yang mengikat (pencatatan pernikahan), akan turut menentukan sah tidaknya akad nikah sepasang laki-laki dan perempuan.
Dengan penerapan legalitas (pencatatan nikah) yang maksimal dan ada tindak pidana bagi semua pihak yang terlibat dalam nikah sirri, kemungkinan praktik nikah sirri yang banyak terjadi di masyarakat diharapkan akan dapat ditekan sedemikian rupa. Zainun–Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman