Minggu, 15 Januari 2012

Menyikapi Kontroversi Nikah Sirri

Nikah : Dilema Pemisahan Doktrin Agama dan Hukum Negara
Oleh : DR.H.Fuad Thohari, M.A.
Nikah, secara bahasa berarti berhimpun. Term nikah ini mempunyai 2 arti berbeda; persetubuhan atau akad. Pengertian pertama dianut madzhab Hanafi sedangkan pengertian kedua dianut madzhab Syafi’i dan Maliki. Al-Qur’an menggunakan term nikah ini untuk makna tersebut, disamping secara metaforis diartikan, hubungan seks. Kata nikah dalam berbagai bentuknya diketemukan sebanyak 23 kali, misalnya: QS. Al-Nisa’/4:3; Al-Nur/24:32. Al-Qur’an juga mengunakan kata zawwaja dari kata zawj yang berarti pasangan, misalnya QS. Al-Nisa’/4:20. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.
Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang 80 kali. Dalam peristilahan hukum dan bahasa Indonesia, di samping perkataan nikah dipakai perkataan kawin. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata nikah: (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) (2). perkawinan. Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974, perkawinan; ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam perspektif Islam, perkawinan bukanlah aib melainkan suatu keagungan. Melalui institusi perkawinan, seseorang dapat melakukan tujuan luhur; menjaga godaan, menolak nafsu syahwat liar, menjauhkan zina, dan menentramkan jiwa. Mendambakan pasangan merupakan fitrah manusia dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Agama mensyariatkan jalinan pria dan wanita dalam ikatan perkawinan yang dapat melahirkan ketentraman (QS..Al-Rum/30:21). Untuk mengatur pelaksanaan dan pengawasan nikah secara administratif, sejak pemerintahan Hindia Belanda telah dikeluarkan pelbagai peraturan tentang pencatatan perkawinan, misalnya dalam Huwelijks Ordonantie S. 1929 No. 3448 Yo S. 1931. No. 467 dan Vorstenland Sche Huwelijks Ordonantie Buitengeweaten S. 1932 No. 428. Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang mulai berlaku efektif tanggal 1 Oktober 1975, dan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No 3 tahun 1975, setiap perkawinan harus dilaksanakan sesuai Peraturan Pemerintah. Umat Islam dalam menyikapi perkawinan, seringkali berbeda dengan mainstream syariat Islam. Ada yang permissife (serba boleh) tanpa memperdulikan syariat dan pada saat yang sama ada yang terlalu ketat mengajukan persyaratan dan mengklaim atas nama Islam, padahal syariat tidak pernah menetapkan syarat seperti itu. Misalnya, lahirnya pemikiran (RUU), di mana pernikahan sirri dianggap perbuatan ilegal, pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta. Sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah sirri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara.

Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. Keberadaan rancangan undang-undang (RUU) peradilan agama tentang perkawinan yang mengatur masalah pernikahan siri, poligami dan kawin kontrak sempat memancing perdebatan. Ada yang setuju, tidak sedikit yang menolak aturan tersebut. Penelaahan Al-Qur’an, hadis Nabi saw, dan pendapat ulama terdahulu (salaf al-shalih) menjadi niscaya untuk mendudukkan pemahaman (teori) dan praktek nikah secara proporsional. Ini sebagai respons dan bahan kajian terhadap rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, yang ternyata masuk daftar Program Legislasi Nasional tahun 2010.

Nikah Dini
Pernikahan dianggap sah (legal), ketika syarat nikah terpenuhi, yaitu: laki-laki (calon suami), wanita (calon istri), wali, dua orang saksi, dan ijab qabul. Hukum Islam tidak mensyaratkan umur tertentu bagi calon suami atau calon isteri. Walaupun kematangan untuk kawin, baik secara biologis, psikologis maupun sosial, harus diperhatikan. Polemik tentang nikah dini mengemuka ketika syeikh Puji, lelaki 43 tahun menikahi Lutfiana Ulfa, 12 tahun. Kasus ini menuai reaksi dari berbagai elemen. Mulai aparat hukum, agamawan, dan pihak-pihak yang peduli dengan perlindungan anak. Polisi belakangan bahkan mengembangkan pemeriksaan kepada syeikh Puji. Sejumlah tokoh agama mengkoreksi cara pandang Puji, yang beranggapan, kepatuhan pada negara bukan bagian dari ketaatan pada agama. Puji terkesan menjadikan agama sebagai tameng untuk menolak kepatuhan pada regulasi negara. Kasus ini perlu kajian mendalam karena mengandung sengketa hukum dan tidak bisa disimpulkan dengan argumen dangkal. Hukum asal, kawin anak di bawah umur tidak dilarang. Tetapi perkembangan berikutnya, muncul undang-undang yang menetapkan batas minimal usia nikah. Dalam literatur fikih klasik, nikah di bawah umur diperbolehkan. Diketemukan dua pandangan besar. Mayoritas (jumhur) ulama membolehkan. Pandangan ini, menurut Ibnu Mundzir, sudah jadi ijma' (konsensus ulama). Ada dua pijakan pokok. Pertama, surat Al-Thalaq ayat 4 yang menjelaskan, masa iddah (waktu menunggu untuk menikah lagi pasca-cerai) bagi perempuan menopause dan yang belum haid (di bawah umur), 3 bulan. Pesan tersirat ayat ini, anak belum haid pun sah menikah. Kedua, pernikahan Nabi Muhammad saw dan Aisyah dilakukan ketika masih berusia 6 tahun dan baru digauli pada usia 9 tahun. Langkah ini tidak dimaknai sebagai praktek pengecualian khusus bagi Nabi saw, karena sahabat Qudamah bin Mazh'un menikahi putri Zubeir yang baru lahir, Umar bin Khattab menikahi Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), pada saat masih kecil. Pandangan jumhur itu disangkal Al-Thahawy dan Ibnu Hazm, yang berpandangan, persoalan ini belum jadi ijma'. Mereka merujuk pada pendapat Ibnu Syubrumah, akad nikah dengan gadis yang belum baligh tidak sah. Sebab tujuan utama pernikahan, memperoleh keturunan dan mencegah zina. Hal itu bisa dicapai dengan menyetubuhi istri. Persetubuhan baru bisa dilakukan terhadap gadis yang secara fisik memungkinkan. Bagi Ibnu Syubrumah, pernikahan Nabi saw dengan Aisyah bermakna khusus, tidak bisa dijadikan dalil. Menurut KH. Ma'ruf Amin, diperlukan kerangka argumen untuk menjembatani norma fikih dan hukum negara. Bila regulasi negara dimaksudkan untuk melindungi kemaslahatan umum, Islam mewajibkan patuh. ''Taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan pemerintah,'' demikian arti literal QS. Al-Nisa' /4:59.

Nikah Sirri
Kawin sirri artinya, perkawinan di bawah tangan, perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia. Dengan kata lain, perkawinan itu tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah atau tidak melaporkannya ke KUA/Kantor Catatan Sipil. Secara hukum positif, nikah sirri tidak legal karena tidak tercatat dalam administrasi pemerintah. Semua warga negara yang menikah harus mendaftarkan pernikahannya ke KUA/Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan Akta Nikah. Ulama umumnya melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi Muhammad saw untuk mengadakan walimat al-ursy dan menyebarluaskan berita pernikahan. Sabda Nabi Muhammad saw, "Publikasikan pernikahan, lakukanlah di Masjid, dan pukullah dufuf (sejenis Rebana)", ini digunakan agar orang lain mengetahui telah terjadi pernikahan, untuk memperjelas status, dan mengeleminir penyimpangan. Ilustrasi hadis ini berlawanan dengan fenomena nikah sirri yang berarti diam-diam atau tidak dicatatkan dalam administrasi negara. Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan. Dalam konteks keindonesiaan, walaupun nikah sirri itu dinilai sah menurut hukum agama, tetapi dapat mengakibatkan dosa karena melanggar ketentuan pemerintah. Umat Islam wajib mentaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah. Dalam hal pencatatan nikah tersebut, jelas sangat sejalan dengan semangat Al-Qur’an. Sekarang ini bermunculan fenomena baru nikah sirri (dengan alasan tertentu), tanpa wali perempuan, bahkan terkadang juga tanpa saksi dan tanpa sepengetahuan orang tua pihak perempuan. Banyak yang menafsirkan, nikah sirri merupakan legalitas hubungan lelaki dan perempuan setelah mengucapkan sumpah (aqad) di depan wali hakim yang biasanya dilakukan seorang kiai. Setelah aqad, dua sejoli itu sah melakukan hubungan suami-isteri. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kejelasan hubungan antara hukum negara dan hukum agama, sehingga nikah sirri yang dikenal selama ini bukan sekadar nikah rahasia, tetapi benar-benar pernikahan yang sah (berdasar agama), walau karena sebab tertentu tidak mengikuti aturan yang ditentukan hukum negara? Nikah sirri tidak sah menurut syariah ketika tidak memenuhi syarat sahnya nikah, antara lain: wali atau ayah kandung jika masih hidup (menurut pendapat jumhur ulama), meskipun ulama Hanafiah tidak mensyaratkan izin wali. Pendapat ulama Hanafiah ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena (’urf) kondisinya jauh berbeda. Pernikahan sirri yang tidak syah harus di-fasakh (dibatalkan) demi hukum dan harus dilakukan pernikahan yang memenuhi syarat sahnya nikah. Selain itu, siapapun yang bertindak selaku wali dalam nikah sirri tersebut perlu dikonfirmasi, atas dasar apa mengawinkan wanita yang bukan di bawah perwaliannya? Islam bukan seperti Kristen, di mana Pendeta berhak menikahkan pengantin. Inti nikah dalam Islam, ijab-kabul antara wali wanita dan calon suami. Pernikahan sirri seperti ini tidak sah secara agama, apalagi secara hukum. Nikah di bawah tangan rentan berdampak buruk. Anak dan istri, apabila ditinggal mati atau cerai, mudah ditelantarkan. Menurut hukum negara, status anak yang dilahirkan dari nikah sirri dianggap anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Dalam akte kelahirannya, statusnya dianggap sebagai anak di luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak di luar nikah dan tidak tercantumnya nama ayahnya akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psykologis bagi anak dan ibunya. Pada nikah sirri biasanya ada sesuatu yang tidak beres dan mudah digunakan sebagai alibi yang tidak benar. Hanya saja, sah tidaknya nikah sirri secara agama, tergantung pada sejauh mana syarat-syarat nikah terpenuhi. Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI beberapa tahun yang lalu akhirnya berkesimpulan, nikah di bawah tangan sah dan halal apabila tidak menimbulkan madharat, tetapi jika menimbulkan madharat menjadi haram.

Khatimah
Nampaknya, problematika nikah dini (di bawah umur) sama dengan nikah sirri (nikah di bawah tangan). Ada dilema antara patuh pada fikih (hukum agama) dan hukum negara. Dibandingkan dengan kasus nikah sirri, potensi pelanggaran nikah dini lebih jelas. Dalam kasus nikah di sirri, pencatatan bukan syarat nikah, tetapi dalam nikah dini, usia minimal jadi syarat nikah. Lahirnya pemikiran dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk daftar Program Legislasi Nasional 2010, pernikahan sirri, nikah dini, dan poligami dianggap perbuatan serba ilegal, pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara dan denda yang berat, merupakan pemikiran yang berlebihan. Pernikahan itu mestinya tetap dianggap sah secara agama ketika syarat nikah terpenuhi. Ketika pernikahan dianggap melanggar hukum negara, sanksi bagi pelaku pernikahan itu cukup dengan sanksi perdata; tidak berhak memperolah pelayanan penyelesaian melalui lembaga hukum negara. Memang, idealnya umat Islam memahami bahwa paradigma siyasah syar'iyah hukum negara (siyasah) yang sejalan dengan filosofi hukum Islam, dinilai bermuatan syar'i sehingga harus ditaati. Pandangan ini dirumuskan dalam kaidah fikih: hukm al-hakim ilzamun wa yarfa' al-khilaf (aturan pihak berwenang bersifat mengikat dan menghilangkan polemik). Daya ikat undang-undang, menurut ushul fiqh di atas fatwa ulama. Fatwa masih bisa diabaikan, tetapi regulasi pihak berwenang berupa undang-undang atau putusan hakim, harus dipatuhi.
Wallahu A’lam bi al-Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman