Jumat, 27 Januari 2012

Fatwa-Fatwa Hasil Sidang IV untuk Permasalahan Zakat Kontemporer

Pertama: Penyaluran Zakat untuk Amil

1. Amil zakat adalah setiap orang yang ditunjuk oleh pemimpin negeri-negeri Islam, atau ditugaskan dan dipilih oleh lembaga yang berkiprah di bidang zakat, baik pemerintah maupun organisasi keislaman untuk melaksanakan aktivitas pengumpulan, penyaluran beserta segala konsekuensinya seperti advertansi tentang hukum-hukum zakat, memperkenalkannya kepada para pemilik modal, advertansi tentang para mustahiq, menyimpan, mengelola, menjaga, mengembangkan (bukan membungakan –pent), mendayagunakan dalam sektor usaha profit making sesuai ketentuan yang sudah diputuskan dalam Fatwa hasil sidang I. Lembaga Islam yang termasuk di sini adalah yayasan-yayasan Islam, berbagai wadah perkumpulan yang ada di zaman kini yangconcern di bidang shadaqah. Semua lembaga-lembaga tersebut di atas harus sesuai dengan sistem Islam dan syarat-syarat yang ditetapkan untuk bisa menjadi amil zakat.

2. Diantara tugas yang harus dikerjakan oleh amil adalah tugas yang bersifat baku karena terkait dengan tugas pokok dan manajemen. Maka, dipersyaratkan untuk setiap orang yang akan memegang tanggung jawab ini adalah ia harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para fuqaha (ahli fiqh), seperti muslim, laki-laki, amanah, berilmu tentang hukum-hukum zakat. Dan bisa ditambahkan persyaratan lainnya jika ada salah satu persyaratan di atas yang tidak terpenuhi.



3. Amil zakat berhak atas dana zakat namun tidak boleh lebih dari gajinya walaupun mereka bukan fakir, dengan catatan penyaluran untuk seluruh amil dan peralatan serta administrasi tidak boleh lebih dari 12,5 %. Hal ini dengan memperhatikan untuk tidak mempekerjakan orang untuk menjadi amil kecuali sesuai kebutuhan walaupun sebaiknya tanggung jawab gaji mereka, seluruhnya atau sebagiannya, dibebankan kepada pemerintah. Hal ini ditujukan agar dana zakat juga tersalur kepada para mustahiq lainnya. Amil tidak boleh menerima pemberian apapun, hadiah, hibah, ataupun uang dari orang lain.

4. Penambahan lokasi lembaga/yayasan dan administrasinya yang konsekuensinya akan memerlukan penambahan sarana dan prasarana, jika tidak memungkinkan untuk bisa menganggarkan dari dana selain zakat seperti anggaran negara, hibah, shadaqah, maka boleh untuk diambilkan dari hak amil sesuai kebutuhan. Hal ini dengan catatan bahwa sarana dan prasarana tersebut memiliki hubungan langsung dengan aktivitas pengumpulan zakat, penyaluran, ataupun dampak positif terhadap progresivitas penerimaan zakat.

5. Wajib melakukan kontrol terhadap lembaga zakat. Hal ini sebagai bentuk pengamalan terhadap perilaku Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamyang mengevaluasi para petugas zakat. Sebab, amil zakat adalah pemegang amanah harta, maka ia harus memberikan pertanggungjawabannya, baik berupa pelanggaran maupun ketidakoptimalan kerjanya.

6. Amil harus selalu memperhatikan kode etik Islam secara umum seperti sopan-santun kepada para muzakki, mendoakan muzakki, kepada mustahiq, mempublikasikan hukum-hukum zakat dan urgensinya sehingga tercapai social insurance, serta bersegera dalam menyalurkan berbagai shadaqah ketika ada mustahiq.

Kedua: Zakat atas Harta Haram

1. Harta haram adalah setiap harta yang oleh syariat diperingatkan agar dijauhi dan tidak digunakan, baik haram secara dzat karena mengandung unsur bahaya maupun nista seperti bangkai dan minuman keras, ataupun haram karena factor lain, misalnya karena adanya link yang salah dalam proses perolehannya seperti memiliki tanpa izin pemiliknya (menipu), ataupun mengambil dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syariat walaupun saling ridha, seperti riba dan suap.

2. Untuk harta haram karena sebab adanya link yang salah dalam proses perolehannya, maka ia tidak ada pemiliknya sepanjang zaman apapun. Pemegang harta ini wajib mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah ataupun kepada ahli warisnya, jika terketahui. Jika tidak lagi memungkinkan, maka ia wajib menyalurkannya dalam sektor sosial sehingga ia bisa terbebas dari harta tersebut, dengan meniatkan shadaqah dari pemiliknya yang sah.

3. Jika harta haram itu merupakan gaji atas pekerjaan haram, maka pemiliknya harus menyalurkannya pada sektor sosial dan tidak mengembalikannya kepada pemilik sebelumnya.

4. Tidak boleh mengembalikan harta haram kepada pemiliknya jika pemiliknya masih tetap bermuamalah secara haram yang menyebabkan terjadinya harta haram, seperti bunga bank, akan tetapi harta itu disalurkan dalam sektor sosial.

5. Jika ia tidak bisa mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya yang sah maka ia wajib mengembalikannya dengan harta yang sepadan ataupun secara senilai jika mampu. Jika tidak, maka ia wajib menyalurkannya dalam sektor sosial dengan meniatkan shadaqah dari pemiliknya yang sah.

6. Harta yang haram secara dzat tidak bisa menjadi halal karena dizakati, sebab ia bukanlah harta yang benar dalam pandangan syariat. Oleh karena itu, wajib atas setiap kita membebaskan diri darinya dengan cara-cara yang dibenarkan syariat.

7. Harta yang haram karena adanya faktor lain, semisal karena adanyalink yang salah dalam proses perolehannya tidak ada zakatnya. Namun jika sudah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah maka, berdasarkan pendapat yang dipilih, pemiliknya wajib menunaikan zakatnya untuk tahun pertama saja walupun harta tersebut sudah berlalu bertahun-tahun.

8. Pemegang harta haram, jika ia mengeluarkan zakat atas harta tersebut, maka ia mendapatkan dosa karena ia masih memegang harta haram, dan zakatnya tidak sah, dan ia tetap menanggung beban itu sampai ia mengembalikan kepada pemiliknya yang sah ataupun kepada ahli warisnya jika mampu ataupun menshadaqahkan atas nama pemiliknya.

Ketiga: Zakat dan Pajak

1. Sidang menyuarakan kepada para pemimpin pemerintahan negeri-negeri muslimin untuk menetapkan undang-undang tentang pengumpulan dan penyaluran zakat. Sidang menyuarakan agar mereka mendirikan badan atau lembaga zakat dengan seluruh penerimaan dan penyalurannya dalam rekening dan system tersendiri. Sidang juga menyuarakan agar mereka meninjau ulang seluruh system keuangan yang sudah ada dan menyesuaikannya dengan system Islam.

2. Pada dasarnya, neraca keuangan negara adalah dari penerimaan kepemilikan umum dan penerimaan yang halal. Namun jika tidak mencukupi, pemerintah diperbolehkan menetapkan pajak dengan cara yang adil untuk kebutuhan pembiayaan negara dimana hal itu tidak boleh dari penerimaan zakat, ataupun untuk menutupi defisit dalam penyaluran zakat dalam memenuhi kebutuhan para mustahiq.

3. Karena pembolehan penetapan adanya pajak adalah demi kemaslahatan, maka wajib tetap memperhatikan maslahat ketika akan menetapkan besaran pajak, sesuai dengan kaidah system keuangan yang islami dan memperhatikan kaidah-kaidah umum serta maqashid syariah (tujuan-tujuan penetapan hukum).

4. Dipersyaratkan agar dalam menetapkan adanya aturan pajak tetap melihat kepada kebutuhan faktual.

5. Wajib memperhatikan azas keadilan dalam timbangan syariat, baik dalam penyaluran dan penggunaannya, serta ditetapkan adanya fungsi kontrol yang terpercaya dan professional.

6. Pembayaran pajak tidak menggugurkan kita dari kewajiban menunaikan zakat karena perbedaan keduanya, baik dari aspek dasar hukum perwajibannya maupun tujuan utamanya, apalagi jika dilihat dari aspek lainnya seperti tata-kelolanya, standar minimal wajibnya, penyalurannya. Dan tidak boleh memotong pajak dari harta wajib zakat.

7. Pajak yang wajib dibayarkan dalam satu tahun akan tetapi tidak dibayarkan dalam 2 tahun, maka pajaknya dipotongkan dari harta wajib zakat, dengan pertimbangan bahwa hak yang wajib ditunaikan.

8. Sidang menyarankan kepada pemerintah negeri-negeri muslimin untuk mengevaluasi undang-undang dan peraturannya agar bisa mengeluarkan zakat dari harta wajib pajak. Hal ini untuk memudahkan muslimin dalam menunaikan kewajiban zakatnya. ***

Penerjemah:
Abu Muhammad ibn Shadiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman