Kamis, 19 April 2012

MENILIK IJTIHAD AL-FÂRÛQ[1] DALAM FIKIH[2]

Saiful Bahri, MA.[3]
“Mengapa kalian perbudak manusia, sedang ibu-ibu mereka
melahirkan mereka dalam keadaan merdeka”.
(Umar bin al-Khattab)
MUQADDIMAH
Selain beribawa, kharismatik, berani dan tegas; Umar bin Khattab juga dikenal kecerdasannya. Apalagi jika kecerdasan tersebut dipadukan dengan kepemimpinannya. Maka prestasi kepahlawanannya bukan hanya menundukkan imperium-imperium adi daya atau mensejahterakan rakyatnya namun juga ketika berijtihad dalam berbagai masalah.
Naifnya, jika ijtihad dan metodologi pengambilan hukum fikih beliau kadang dijadikan sandaran yang keliru dalam memahami atau mengkritisi teks-teks hadits ataupun al-Qur’an. Benarkah ijtiahad-ijtihad berani Umar kontroversi dan berbeda dengan al-Qur’an serta Sunnah?
Makalah berikut akan mengupas secara singkat hal-hal di atas, dengan segala keterbatasan penulis.
SAMPEL METODOLOGI DAN PEGANGAN IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB
Umar bin Khattab dikatakan berijtihad mulai wafatnya Rasulullah saw. sampai beliau menjabat sebagai sebagai khalifah kedua dan wafat. Adapun prakondisi pada masa Rasulullah saw hanya merupakan istisyar (konsultasi) dan meminta kejelasan. Karena salah satu sumber hukum pada waktu itu masih ada (Rasulullah=Hadits)
Kaidah umum Umar bin Khattab ra. dalam berijtihad:
1. Berpegang pada nash/teks al-Qur’an dan Sunnah
2. Ijma’ dan Qiyâs. Namun bukanlah yang dimaksud disini Ijma’ sebagaimana yang ada dalam istilah-istilah sebagian pendapat ushul fikih[4]. Namun dengan kesepakatan orang-orang yang mengerti permasalahan yang dihadapi saat itu dan diikuti oleh orang lain dengan menyetujuinya. Demikian halnya dengan qiyas. Istilah-istilah ushul fikih belumlah ada pada masa Umar, seperti istilah sadz dzarâi’ dan mashlahah. Namun ini diilhami dengan perbandingan suatu masalah dengan yang lainnya yang serupa. Disinilah kecerdasan beliau mengklasifikasikan suatu masalah sehingga bisa diqiyaskan. Seperti ijtihad beliau tentang zakat ‘urûdh tijârah yang diqiyaskan pada zakat emas dan perak. Harga diyat (bukan dengan unta) diqiyaskan dengan penerimaan Rasulullah atas jizyah dengan harga/qîmah (bukan dengan naqd).
3. Bermusyawarah dengan para sahabat. Kadang dengan meminta pendapat mereka ataupun mereka (para sahabat Rasulullah membenarkan ijtihad Umar dengan Ijma’ Sukuti)
4. Berpikir Realistis. Pola ijtihad dan berpikir beliau bukan pada hal-hal iftirodhy (yang diperkirakan ada). Karena sangat jarang kita menemukan beliau memberikan penyelesaian hukum pada permasalahan yang memang belum ada. Sebagaimana yang terjadi pada sampel-sampel fikih pada masa Abbasiah. Umar meyelesaikan kasus perkasus yang benar-benar terjadi dan dihadapi pada masanya dan pada masyarakatnya secara realistis dan cerdas.
5. Kemungkinan benar dan salah. Ketika berijtihad di saat menjabat sebagai khalifah, beliau sangat menghormati pendapat orang lain yang berbeda dengannya. Beliau tak memaksakan pendapat ini kepada kaum muslimin.
6. Maslahah dan Nash. Dua kutub ini yang sangat diperhatikan oleh Umar dalam pengambilan hukum fikih. Karena jika pengambilan hukum hanya didasarkan maslahah semata maka akan cenderung membentur nash. Ketika itu pengambilan hukum benar-benar akan kontroversi dan menabrak nash. Seperti pada contoh had pencuri atau masalah mu’allaf.
7. Memperhatikan kemaslahatan bersama dan kemaslahatan pribadi atau golongan. Jika bertentangan maka kemaslahatan umumlah yang diprioritaskan.
8. Mentarjih salah satu kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal jika memang bisa berpihak pada kemaslahatan.
9. Maslahah dan Sadz dzarâi’. Umar memang belum mengenal istilah usul fikih ini. Bahwa perlu ada proteksi hukum dan akidah dengan sadz dzarai’ yang dikedepankan dari padamaslahah. Seperti contoh penebangan pohon bai’aturridwân. Hal tersebut beliau lakukan setelah melihat kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi pohon tersebut dan shalat dibawahnya. Beliau sangat mengkhawatirkan hal ini bisa mengembalikan kondisi jahiliyah (menyembah berhala) secara pelahan dan berproses.
10. Ta’zir. Yaitu hukuman tertentu yang diterapkan beliau pada masalah-masalah yang tidak ditentukan Rasul saw. Dan kondisi ini pun berbeda-beda satu dengan lainnya.
11. Qarînah yang jelas. Seperti had zina kepada perempuan yang hamil sedangkan ia belum punya suami. Adapun jikaqarinah ini ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa ditafsirkan maka beliau pun akan memutuskan lain.
12. Lafadz dan Niyat. Artinya ketika seseorang mengucapkan sesuatu yang dimaksudkan untuk menyindir atau menuduh zina, misalnya. Beliau akan segera bertanya dan minta endapat orang-orang disekitarnya. Jika benar maksudnya adalah menuduh zina maka ia akan segera dihukum. Karena jika orang tersebut ditanya maka ia akan berkelit dan berdalih.
13. Konsep Keadilan
14. Menghargai hak milik pribadi
15. Memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan dan hak-haknya. Seperti kemuliaan dan posisi sosial seseorang. Akan tetapi jika ia menghukum orang terpandang yang bersalah bukanlah dimaksudkan untuk menjatuhkannya namun untuk menjaga hak-hak orang lain dan justru mengembalikan orang terpandang tersebut untuk tetap bagus personal recordnya di tengah masyarakatnya.
16. Persamaan hak dan akidah
BEBERAPA CONTOH IJTIHAD UMAR AL-FÂRÛQ
Sebelum kita memasuki pembahasan-pembahasan khusus yang menjelaskan ijtihad Umar secara khusus. Ada baiknya kita mengetahui bagaimana Umar sangat memperhatikan nash-nash.
a. Dalam masalah tayamum orang junub. Mulanya beliau membolehkannya. Setelah mengingat-ingat kembali pada masa Rasulullah saw, beliau menarik lagi pendapatnya.
b. Beliau menolak riwayat Fatimah binti Qais yang meriwayatkan bahwa perempuan yang ditalak bâ’intidakkah mendapatkan nafkah dan tempat tinggal pada masa Rasulullah saw. Beliau menolaknya dengan tetap berpegang teguh pada nash yang bersifat umum (baikraj’ah maupun bâ’in) “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik…”.(QS. 65:6). Adapun kajian tentang talak ini memang terdapat perbedaan (ikhtilaf) para ulama. Pada kesempatan ini, kita tak mengedepankan masalah penolakan Umar terhadap riwayat Fatimah binti Qais. Akan tetapi, karena beliau kurang merasa tenang hatinya ketika ada yang terlihat bertentangan dengan al-Qur’an. Namun demikian beliau tak berani menganggap bahwa Fatimah binti Qais berbohong.
c. Umar juga pernah lupa dengan beberapa riwayat hadits. Sehingga dalam prakteknya beliau sering muraja’ahdengan beberapa sahabat tentang riwayat yang beliau ragu atau kurang tenang.
d. Tadwin dan penulisan hadits nabawi. Pada awalnya belau berpegang teguh; tak boleh membukukan (=menulis) hadits-hadits Rasul saw. Namun setelah beliau gundah dan khawatir jika nantinya orang-orang terlalu mencintai Rasul kemudian dengan itu mengada-ada dan menulis apa yang tak ada pada Rasul saw. Beliau pun beristikhârah selama sebulan dan terus bermusyawarah dengan para sahabat akhirnya beliau membolehkan tadwin sunnah.
BENARKAH UMAR LUPA?
Suatu ketika beliau mengeluarkan larangan berlebihan dalam urusan mahar perempuan ketika menikah. “Bagaimana mungkin mahar para perempuan melebihi mahar istri-istri nabi” demikian statemen beliau. Namun ini dibantah oleh perempuan. “Apakah ini pendapat Anda atau Anda mendengarnya dari Rasulullah. Karena kita menemukannya dalam al-Qur’an, “… dan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata” (QS. 4:20). Umar terdiam sesaat, kemudian dengan segala kerendahan hati dan kebesaran jiwa beliau mengatakan,”Perempuan itu benar dan Umar salah”.
IJTIHAD PADA NASH-NASH KHUSUS
Maksudnya, bukan berarti Umar berijtihad pada wilayah yang sudah ada nashnya. Namun, perlakuan beliau terhadap beberapa nash al-Qur’an yang sekilas terlihat dan terkesan bertentangan dan kontroversi. Tetapi hakikatnya tidaklah demikian.
Secara singkat bisa dibagi dalam beberapa bagian, sebagai berikut:
a.                  MATERI/HARTA. Ada beberapa contoh, diantaranya žtanah yang dibuka melalui futuhat islamiyah[5] žhak mu’allafdalam zakat[6] žbagian ghanimah untuk dzawil qurbâ(kerabat Rasulullah saw.)[7] žpembayaran harga diyat[8]žzakat ‘urûdh tijârah[9] žzakat madu dan lain-lain.
b.                 HUDUD/HUKUMAN. Ada beberapa contoh, diantaranya:žhad pencuri[10] žzina[11] žminuman keras/khamr[12] dan lain-lain.
c.                  PERNIKAHAN DAN AKHWAL SYAKHSHIYYAH. Ada beberapa contoh, diantaranya: žtentang nikah mut’ah žmenikahikitabiyat (ahli kitab perempuan) žtalak 3 dengan lafadz satu saja.
d.                 HARTA WARIS. žkalalah[13] žbagian jad (kakek) dan ikhwah(saudara) žbagian orang tua dengan adanya salah satu suami-istri žbagian saudara perempuan ketika ada anak perempuan dan lain-lain.
e.                  LAIN-LAIN. Ada beberapa contoh, diantaranya: žHajižtarawih berjamaah dan lain-lain
Kita mencoba mengambel sampel beberapa contoh saja. Yaitu tentang mu’allafati qulubuhumhad pencuri dan tentang menikahi kitabiyat.
MU’ALLAFATI QULUBUHUM
Salah satu ijtihad Umar bin Khattab yang sering dinilai kontroversial dan bertentangan dengan al-Qur’an adalah beliau tidak membagi zakat kepada mu’allaf. Sehingga dari sinilah seolah terbuka celah untuk mengkritisi teks-teks al-Qur’an.
Kita mesti membedakan ijtihad beliau. Apakah obyeknya benar nash atau teks al-Qur’an atau konteks sosial yang ada pada waktu itu. Yang pertama adalah kontroversi dan yang kedua adalah kejeniusan. Yang pertama menerjang kesakralan nash. Yang kedua membuktikan keluasan ilmu.
Setelah terjadi beberapa futuhat islamiyah pada zaman beliau maka kondisi umat Islam cukup kuat dan eksis bahkan menjadi sebuah kekuatan yang benar-benar diperhitungkan. Pada saat itulah beliau memandang bahwa tak ada lagi orang yang perlu disebut sebagai muallaf, yang berkonsekuensi tak ada jatah untuk mereka dalam pembagian harta zakat.
Nash al-Qur’an menjelaskan bahwa pembagian harta zakat diperuntukkan kepada 8 saluran sebagaimana yang telah ditetapkan, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah…” (QS. 9:60).
Apakah jika suatu saat kita tidak menjumpai salah satu saluran tersebut berarti kita menghapus al-Qur’an. Seperti halnya tentang perbudakan yang bisa dikatakan sudah tak ada. Delapan saluran diatas hanyalah pilihan yang diberikan oleh Allah untuk menyalurkan zakat, bukan selain mereka. Bisa jadi suatu ketika hanya ada salah satu saja dari yang delapan atau bahkan tak ada lagi sama sekali.
Terbukti pada saat pemerintahan cucu beliau, Umar bin Abdul Aziz. Saluran muallafkembali dibuka. Dengan menghadiahkan dinar kepada seorang patrik.
Hal ini mirip poin keputusan yang sering kita bahas dalam tata tertib persidangan. Seperti pengambilan keputusan secara mufakat. Kemudian dengan pemungutan suara. Lalu dengan diserahkan kepada presidium sidang. Adanya beberapa poin bukan berarti mesti kita jalankan semua secara kaku. Jika kita melaksanakan poin nomor satu bukan berarti kita menghapus poin berikutnya.
Satu hal penting yang perlu dicatat bahwa apa yang dilakukan Umar tersebut disetujui dan didukung oleh para sahabat Nabi. Selain itu bahwa bukan berarti hukum agama diserahkan secara bulat-bulat kepada para penguasa sehingga bisa dibolak-balik sesuka mereka. Karena sudah ada aturan-aturan bakunya. Hanya saja memang masih banyak ruang-ruang ijtihad bagi orang-orang cerdas. Sehingga tak perlu lagi menyentuh wilayah sempit yang sudah ditentukan.
Naifnya, ijtihad Umar dalam masalah ini sering dibawa-bawa ketika seseorang hendak membicarakan masalah harta warisan. “…bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan…” (QS. 4:176). Yaitu dengan menuntut persamaan bagian dengan klausul emansipasi dan tuntutan modernitas. Bahwa sudah saatnya bagian perempuan sama dengan bagian laki-laki dalam masalah warisan di ayat ini.
Tentu saja masalah ini berbeda dengan konteks ijtihad Umar yang jenius tanpa harus menabrak nash. Adapun masalah terakhir ini terlihat jelas sebagai upaya menunjukkan keangkuhan dan kesombongan atas nash-nash yang diklaim sudah usang dan ketinggalan zaman.
Sebenarnya yang perlu kita pertanyakan, masihkah hukum warisan ini dipegang dan dijalankan oleh kaum muslimin. Bahwa tujuannya bukan sekedar pembagian angka namun memperkuat hubungan keluarga.
HUKUM SEORANG PENCURI
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah…”(QS. 5:38).
Umar bin Khattab tidak memberlakukan hukuman potong tangan terhadap pencuri di musim paceklik pada masa kepemimpinannya.
Inti dari beberapa peristiwa pencurian yang terjadi pada masa paceklik tersebut adalah keterpaksaan mempertahankan hidup. Bahwa menjaga jiwa (hidup) lebih dikedepankan dan diprioritaskan daripada menjaga harta. Dan ijtihad Umar ini bukan berarti melanggar nash al-Qur’an. Karena seorang pencuri yang harus dipotong tangannya adalah telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantaranya harta yang dicuri sampai pada batas tertentu, dalam kondisi normal, mengganggu hak orang lain dan stabilitas sosial serta adanya saksi atau pengaduan atau keberatan dari pihak yang dirugikan.
Dan bukan berarti pula bahwa ijtihad Umar tanpa sandaran nash. Allah sendiri memerintah untuk tidak menjerumuskan diri kita pada kebinasaan, diperbolehkannya memakan bangkai bila sangat terpaksa, juga riwayat shahih dari Makhul yang menjelaskan sabda Rasul saw. “Tak ada potong (tangan) di musim paceklik yang sangat”.
MENIKAHI AHLI KITAB PEREMPUAN (KITABIYAT)
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik…” (QS. 5:5)
Secara jelas Allah membolehkan laki-laki menikahi perempuan ahli kitab (yang menjaga kehormatan). Namun, Umar melarangnya dengan memperhatikan kemaslahan sosial umat Islam.
Bila kita teliti dengan seksama sesungguhnya beliau berpendapat bahwa menikahikitabyat adalah halal. Hanya saja dalam kondisi khusus beliau menyatakan, “sesungguhnya perempuan-perempuan asing itu memperdayakan dan melenakan”. Hal itu tak lain beliau ungkapkan untuk menjaga stabilitas kaum muslimin dan eksistensi psikologis dan keseimbangan sosial mereka. Atau dalam bahasa ushul fikih kita kenal dengan tindakan prefentif berupa sadz dzara’i. Mencegah keterlenaan yang membuai kaum muslimin.
Apalagi terhadap masalah serius seperti pernikahan. Memang benar diantara perempuan itu ada kitabiyat. Lalu, apakah sudah tak ada seorang muslimah pun yang membuat kita tertarik untuk menikahinya. Dan diantara muslimah tersebut ada berbagai sifat dan karakter yang membuat seorang laki-laki harus memilih “selera” tertentu sesuai dengan kufu’ dan kecondongan hatinya.
Terlepas dari hal itu, apakah dengan kondisi seperti saat ini kita masih bisa mencari. Masih adakah orang-orang yang disebut dengan Ahli Kitab? Sebuah permasalahan yang masih saja mengundang perdebatan dalam wacana fikih kontemporer. Jika jawabannya ya, sifat “yang menjaga kehormatan” itu sendiri memiliki penafsiran yang lebih serius.
Kebolehan nikah ini sendiri bukan berarti menduduki peringkat kebolehan yang besar. Namun lebih pada skala prioritas. Apalagi untuk urusan serius dalam hidup seorang mukmin yang telah lama membina dirinya untuk mencari pasangan hidup yang diharapkan mampu melanjutkan obsesi hidup bersama dan mewujudkan masyarakat madani yang beriman pada Allah. Urusan serius itu adalah pernikahan.
IJTIHAD-IJTIHAD PADA MASALAH YANG TAK ADA NASH
Selain hal-hal yang disebut diatas, Umar juga melakukan ijtihad-ijtihad cerdas diberbagai masalah yang tak ada hubungannya dengan nash-nash khusus seperti ide mengumpulkan al-Qur’an (jam’ul qur’an), penanggalan hijriyah, perpajakan, diwan mal, baitul mal, administrasi negara dan beberapa undang-undang kenegaraan serta lain-lain.
IKHTITAM
Demikian sekilas tentang metodologi beserta sebagian contoh ijtihad Umar al-Fârûq. Semoga dengan mempelajari sirah beliau ini semakin memacu kita untuk lebih tekun lagi dalam bertafaqquh fiddin adan memperdalam spesialisasi serta memperluas wawasan keilmuan. Kita berharap jika tidak Umar bin Khattab, cukuplah orang-orang yang mengaguminya dan orang-orang yang ingin seperti beliau yang akan hadir di saat-saat umat ini merindukan pemimpin yang adil dan dicintai rakyatnya sekaligus jenius serta memahami agama degan baik. Wallahu a’lam.
Cairo, 7 April 2004


[1] Gelar Amîrul Mu’minin Umar bin Khattab ra, khalifah kedua yang memerintah selama kurang lebih sepuluh tahun (13-23 H/634-643 M).
[2] Pengantar diskusi Paket Muslim Tsaqafi IV PCI Muhammadiyah Kairo-Mesir, Rabu 7 April 2004. Disarikan dari buku Manhaj Umar bin al-Khaththâb fî at-Tasyrî’ karya Prof. Dr. Muhammad Beltagy, Cairo:Maktabah Syabab, 1998.
[3] Peserta Program S3 pada Universitas Al-Azhar Cairo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir.
[4] Yaitu ijma’ yang mengumpulkan para ulama kaum muslimin untuk memutuskan suatu masalah tertentu.
[5] Beliau tidak membaginya
[6] Beliau tidak membagikan harta zakat kepada mereka yang baru saja memeluk Islam atau dengan tujuan mendekatkan Islam.
[7] Sekilas akan terlihat Umar menolak membagikan hak-hak dzawil qurbâterhadap ghanimah. Namun sesungguhnya beliau ingin menunjukkan bahwa masih banyak kaum muslimin yang lebih memerlukan harta ghanimah itu dari pada mereka. Dengan demikian mereka (dzawil qurba) diharapkan bisa bersikap sebagaimana mestinya.
[8] Ijtihad beliau tentang pembayaran harga diyat (bukan dengan unta) diqiyaskan dengan penerimaan Rasulullah saw. atas jizyah dengan harga/qîmah (bukan dengan naqd)
[9] zakat ‘urûdh tijârah yang diqiyaskan dengan zakat emas dan perak
[10] beliau tidak memotong tangan pencuri pada musim paceklik saat itu.
[11] Demikian juga dalam beberapa kondisi beliau tidak memberlakukan had zina
[12] Abu Yusuf meriwayatkan hukuman orang yang meminum khamr,”Nabi saw menjilidnya 40 kali, Abu Bakar juga melakukannya 40 kali dan Umar melengkapinya dengan 80…” (HR.Muslim). Tak ada riwayat pasti yang menyebutkan bahwa hukuman tersebut berhenti ada bilangan tertentu seperti 40 kali. Tujuannya adalah tanfîr (menjauhkan) dan membuat jera.
[13] Kalalah adalah seseorang yang mati tidak meninggalkan ayah dan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman